Kalau ngomongin dokter gigi, saya seperti napak tilas masa lalu yang bikin trauma sampai segede sekarang. udah berapa belas tahun berlalu, tapi trauma soal dokter gigi masih melekat di dalam ingatan.
awalnya saat saya duduk di kelas dua SD. Di sekolah dasar, tiap tahunnya selalu ada pemeriksaan dokter gigi atau dokter umum yang kerjanya memeriksa murid kalau-kalau perlu dicabut giginya, disuntik hepatitis, dan lain sebagainya. Pada suatu hari, dokter gigi memeriksa seluruh murid di sekolah dasar tempat saya sekolah. setelah menunggu giliran yang lumayan lama, akhirnya saya bertemu juga dengan dokter gigi wanita berumur tigapuluhan di depan saya. dia tersenyum ramah dan saya diajak mengobrol macam-macam. saya tenang. berarti tidak akan ada yang terjadi dengan gigi saya. tapi tiba-tiba tanpa pemberitahuan apapun, dokter gigi dengan bantuan seseorang yang saya tidak kenal siapa mulai mencabut gigi saya. lalu saya diberi kapas untuk digigit dan tidak boleh dilepas. saya menangis keras. sampai kelas saya masih menangis. bahkan sampai dirumah pun, saya tetap menangis dan tidak berani melepas kapas dimulut saya saking takutnya.
dan sejak saat itu, saya tidak berani bertemu dengan dokter gigi. dokter gigi = bad. saya trauma dengan dokter gigi. sering juga gigi saya senut-senut dan bahkan sampai gusi bengkat segala. tapi saya tetap enggan pergi ke dokter gigi. setau saya, sebaiknya pemeriksaan gigi adalah tiap 6 bulan sekali. tapi saya tidak berani. takut.
jadi solusinya saya minum obat sakit gigi setiap kali sakit gigi mulai mendera hidup saya.
tahun 2002, sakit gigi saya tambah parah. sepertinya satu gigi saya sudah rusak parah dan harus diperiksakan ke dokter gigi. saya seperti diberi buah simalakama, apapun yang saya pilih bukanlah pilihan yang baik. saya benar-benar berada dalam pilihan yang sulit. but I have to choose. jadi, dengan sangat berat saya berusaha datang ke dokter gigi. benar-benar pilihan yang sulit.
awalnya, saya tidak berani masuk ke dalam tempat praktek dokter gigi yang saya datangi. begitu berulangkali. tapi sakit gigi yang saya derita memaksa saya untuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan dokter gigi tersebut. dokter itu laki-laki dengan usia setengah baya. tampaknya ramah. tak lama si dokter mulai melihat gigi saya dan memutuskan untuk mencabutnya. deg..deg..deg... cabut gigi! yah ... apa boleh buat, saya pun mengangguk menuruti sarannya. daripada saya terus-terusan tersiksa. tapi semangat saya mulai kendur saat melihat jarum suntik ditangan pak dokter. saya mulai takut. dan saya berkata ingin pulang. pak dokter menyindir saya dengan mengatakan saya seperti anak kecil. dan saya diusirnya kalau tidak mau dicabut, menurutnya saya cuma menghabiskan waktunya saja. antara kesal dan malu, akhirnya saya memberanikan diri. gusi saya mulai disuntik sekali. tapi penderitaan belum berakhir. karena ternyata, kalau gigi bawah ingin dicabut harus disuntik bius 2 kali. ampun deh ... !!!
sesudah disuntik, pak dokter meminta saya keluar dan boleh masuk ke dalam ruangan prakteknya kalau gigi saya sudah terasa baal. sudah tidak bisa terasa apa-apa. sepuluh menit diluar ruangan, saya pun masuk lagi ke dalam. tidak pakai tedeng aling, pak dokter mencabut gigi saya dan menunjukkan rupanya pada saya. saya diberi kapas dan disuruh menggigitnya agar darahnya tidak kemana-mana. sampai rumah, saya tidak bisa tidur. gigi saya masih terasa sakit, dan kapas di mulut saya benar-benar mengganggu. dokter gigi dan segala urusannya sangat tidak menyenangkan!!
sekarang,
saya masih takut dengan dokter gigi. saya berharap tidak perlu bertemu dengan dokter gigi lagi. saya berharap gigi-gigi saya tidak akan bermasalah lagi. pandangan saya terhadap dokter gigi sangat tidak menyenangkan. walau ada teman saya yang jadi dokter gigi, pandangan saya pada dokter gigi tetap sama. dokter gigi = bad. apakah hanya perasaan saya saja atau ada juga yang merasakan hal yang sama tentang dokter gigi seperti saya??
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment