Saturday, November 29, 2008

Nasihat Ayah

Malam itu ada yang terasa berbeda saat aku berbincang dengan Ayah. Kami jarang bertemu. Kami jarang bertukar pikiran. Namun malam itu aku butuh bimbingannya. Tidak ada yang lain, hanya Ayah yang bisa membantu. Maka kuberanikan diri bersitatap dengan beliau. Tidak banyak perubahan yang kulihat dari dirinya. Hampir sama dengan ingatanku akan terakhir kali pertemuanku dengannya. Ayah yang sudah mulai menampakkan uban di seluruh rambutnya. Ayah yang tubuhnya mulai bungkuk dan kurus termakan usia. Dan Ayah yang tatapan matanya masih mampu membuatku tidak berani menatap lama.
Tak pernah sekalipun aku mendengar Ayah berpetuah. Namun malam itu, Ayah mengeluarkan nasihat yang tidak pernah aku duga akan keluar dari mulutnya. Ini pengalaman pertamaku, karenanya sulit sekali menutupi keheranan di wajahku. Kulihat Ayah tersenyum, kurasa beliau juga menyadari hal ini. Beliau menasehatiku dengan suara yang pelan namun penuh kewibawaan. Suasana hening seketika, sebelum akhirnya beliau berkata "Nak, tak pernah sekalipun aku memberimu bekal. Aku hanya menyusahkanmu dan terutama ibumu. Ya, ibumu yang kini sudah tenang di alam kuburnya. Namun penyesalanku mesti kubayar dengan air mata yang tak ada habisnya. Terlambat aku menyadari, namun denganmu aku ingin merubah cerita. Aku ingin.. setidaknya bisa memberi sedikit nilai baik yang pernah diajarkan Ayahku dulu padaku. Dan kini ingin kuajarkan juga padamu"
Aku terdiam, mendengarkan dengan sungguh. Tak pernah sekalipun aku melihat Ayah merendahkan diri dan mengakui kesalahan. Ini bukan sifatnya. Entah apa yang sedang merasukinya, mungkinkah Ayah insyaf? "Aku ingin kamu ingat tiga hal. Agar hidupmu bisa lebih tenang dan tidak ada penyesalan yang tertinggal. Tidak seperti aku" suara Ayah terdengar berat. Aku hanya bisa mengangguk. Lidahku terasa kelu, karena tampaknya Ayah sungguh-sungguh.
"Sebagai manusia, ingatlah agar kamu bisa menjaga tiga hal. Emosi, ambisi dan egois. Jagalah tiga hal ini agar tidak merusak hidupmu yang teramat singkat. Ketika kamu memperturutkan emosi dalam mengambil keputusan, dalam bertindak.. maka hidupmu akan sia-sia. Karena apa yang dihasilkan oleh emosi hanyalah kehancuran. Kamu hanya akan menghancurkan dirimu karena setelah emosi reda kamu akan menyesal. Kamu akan menghancurkan dirimu karena keputusan dan tindakanmu tidak bijak. Hanya keinginan sesaat yang akan kamu sesali sesudahnya. Dan kamu akan menghancurkan orang disekitarmu yang ikut terlibat dalam hal itu"
Aku mencerna kata-kata Ayah. Benarkah ini Ayah? Benarkah pemikiran ini keluar dari seorang Ayah? Yang telah melupakan keluarga demi dirinya semata. Yang telah meninggalkan keluarga dan menghilang entah dimana rimbanya. Yang telah membuat Ibu hidup menderita hingga akhir hayatnya. Apa yang membuat Ayah berubah, aku jadi bertanya-tanya. Ayah tampaknya maklum dengan kegelisahan dan rasa penasaranku. Ayah tersenyum. "Aku tau kamu pasti bertanya-tanya. Aku memang sudah tidak seperti dulu lagi nak. Aku menyesal telah menghabiskan bertahun-tahun hidupku demi hal yang sia-sia. Karena pada akhirnya aku akan mati juga. Dan apa yang tersisa? Tidak ada. Istriku meninggal sebelum aku sempat meminta maaf. Dan anakku kini sudah besar tanpa aku tau bagaimana perkembangannya. Aku minta maaf nak" suara Ayah bergetar dan matanya berkaca-kaca. Kerongkonganku tercekat, tidak menyangka kalau kami ternyata begitu berarti bagi seorang Ayah.
"Lanjutkan Yah..." pintaku pelan. Ayah mengangguk. "Dan janganlah kamu memperturutkan ambisimu. Manusia harus memiliki ambisi dalam hidup, namun janganlah kamu lupa akan sekeliling karena ambisimu. Jangalah jadi manusia serakah dan lupa segalanya karena diperbudak oleh ambisimu" Ayah terdiam. Dituangnya teh panas dari cerek. Kepulan asap keluar dari gelasnya. Diminumnya pelan-pelan sambil sesekali menghela nafas panjang. Suasana menjadi hening, tidak ada yang bersuara. Aku menjadi tidak enak dan salah tingkah "Ayah baik-baik saja?" tanyaku memecah keheningan. "Aku tidak apa-apa nak. Hanya kelelahan. Namun aku harus menyampaikan nasihat ini padamu, agar kamu tidak salah langkah seperti aku" guratan kesedihan terlihat nyata di wajahnya. Aku mengangguk pelan tanda mengerti.
"Yang terakhir adalah egois. Sifat alamiah manusia. Yang dimiliki oleh semuanya hanya berbeda kadarnya saja. Kamu harus bisa menjaga sifat egoismu nak. Karena ketika kamu mengikuti sifat egoismu, tindakanmu menjadi tidak obyektif. Karena hanya mementingkan dirimu, bukan kebaikan untuk semua yang ada di sekelilingmu. Dan ini adalah awal kehancuranmu. Karena kamu berharap orang mengerti dirimu tanpa kamu belajar untuk mengerti orang lain. Tahanlah sifat egoismu. Tidak mudah. Namun, kalau kamu bisa melaksanakan ketiga hal ini aku yakin kamu bisa menjalani hidup yang lebih baik dari aku"
Ayah bernafas lega. Terlihat sedikit beban terangkat dari punggungnya. Aku mengucap kata terimakasih dalam hati, karena Ayah memberiku nasihat yang tak ternilai harganya. Setidaknya, ada hal yang bisa aku banggakan pada anak-anakku akan sosok Ayahku. Nasihat Ayah ini sekaligus menjawab permasalahanku. Aku tidak ingin mengganggu waktunya lebih lama lagi. Aku tidak tau kapan bisa bertemu dengan beliau lagi, namun aku tau kini Ayah hidup dalam ketenangan yang selama ini tidak dimilikinya.
Made by Ayoe, Nov 30th 2008

No comments: